Ilmu Alamiah Dasar
Derson Henriko H.S
11512876
1PA02
Psikologi
Universitas Gunadarma
PENGERTIAN
EKOLOGI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi
antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata
Yunani oikos (“habitat”) danlogos (“ilmu”).
Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk
hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi,
kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan
ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik antara lain suhu,
air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk
hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga
berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu
populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu
sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi,
biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani
yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi
yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
Ekowilayah
bumi dan riset perubahan iklim ialah dua wilayah di mana ekolog (orang yang
mempelajari ekologi) kini berfokus
Para ahli ekologi mempelajari hal berikut:
1.
Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk
hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
2.
Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda
dalam faktor-faktor yang menyebabkannya.
3.
Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk
hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Kini para ekologI (orang yang mempelajari ekologi) berfokus kepada Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim.
Beberapa Cabang Ilmu dari Ekologi
Karena
sifatnya yang masih sangat luas, maka ekologi mempunyai beberapa cabang ilmu
yang lebih fokus, yaitu:
·
Behavioural ecology
·
Community ecology or
synecology
·
Ecophysiology
·
Ecosystem ecology
·
Evolutionary ecology
·
Global ecology
·
Human ecology
·
Population ecology
ANTROPOLOGI KESEHATAN
DAN EKOLOGI
EKOSISTEM
DAN SISTEM SOSIAL – BUDAYA
Selama tahun –
tahun terakhir, banyak ahli antopologi yang menaruh perhatian pada masalah –
masalah kesehatan lingkungan biobudaya, yang dipelajari dari yang disebut Bates
sebagai “pandangan ekologis” (M. Bates 1953: 701). Pandangan ekologis cocok
bagi ahli antropologi, karena dalam kenyataannya, pandangan itu adalah lanjutan
dari lingkungan dan komuniti biotiknya dalam pendekatan antopologi yang
fundamental yakni perhatian pada sistemnya. Dimana “sistem” (Kamus Webster
Edisi Kedua) adalah agregasi atau pengelompokan objek – objek yang dipersatukan
oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung, sekelompok
unit yang berbeda, yang dikombinasikan oleh alam atau seni sehingga membentuk
suatu keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam
kesatuan. Dalam
antropologi, keseluruhan integral adalah suatu sistem sosial-budaya atau suatu
kebudayaan. Dalam ekologi, keseluruhan integral adalah suatu ekosistem, suatu
interaksi antara kelompok tanaman dan satwa dengan lingkungan non hidup mereka
(Hardesty 1977 : 289). Untuk dapat terus
berfungsi, baik ekosistem maupun sistem sosial budaya harus mempertahankan
suatu tingkatan integrasi minimumdan konsistensi dari dalam, suatu tingkatan
yang lebih tinggi sehingga unit – unit yang terpisah dalam system tesebut dapat
menyumbangkan peranannya. Namun integrasi tidak lengkap karena perubahan,
karena bagian dalam sistem tidak terkunci secara permanen dalam posisi yang
tidak dapat berubah. Bagian – bagian itu berubah terdorong oleh berbagai
dinamika, dalam bentuk maupun fungsi.
PERHATIAN
EKOLOGIS DARI PARA AHLI ANTROPOLOGI KESEHATAN
Para ahli
antropologi kesehatan, yang defenisinya berorientasi ke ekologi, menaruh
perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya,
tingkah lakunya, penyakitnya, cara-cara dimana tingkah laku dan penyakitnya
mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya.
Pandangan ekologi terutama berguna dalam mempelajari masalah-masalah
kesehatan dalam program internasional bagi pembangunan dan modenisasi, karena
seperti yang kita lihat, proyek perubahan teknologi yang kurang dipahami telah dilaksanakan tanpa menyadari bahwa perubahan itu akan
menghasilkan suatu rangkaian perubahan lain, yang banyak memepengaruhi
kesehatan.
Dalam studi
ekologis, dimulai dengan lingkungan, dimana lingkungan bersifat alamiah dan
sosial-budaya. Semua kelompok harus menyesuaikan diri dengan kondisi geografi
dan iklim karena penyakit misalnya adalah bagian dari lingkungan manusia.
Kenyataannya, faktor sosial psikologi dan faktor budaya sering memainkan peran
dalam mencetuskan penyakit, sedangkan cara-cara dimana lingkungan si pasien
diubah sementara ia mengalami perawatan adalah benar-benar kebudayaan.
Penyakit
dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia, telah mempengaruhi
evolusi manusia, contohnya pada kecepatan reproduksi ciri sel sabit (sikle cell) di kalangan penduduk Afrika
Barat, suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang memberikan kepada individu
yang mempunyai sel itu suatu imunitas yang relatif terhadap malaria. Nutrisi dipandang
sebagai lingkungan biobudaya. Bagian nutrient yang tersedia dalam lingkungan
tertentu, yang didefenisikan sebagai ”makanan” dan karenanya dapat dimakan
merupakan masalah kebudayaan. Nutrisi adalah bagian dari sosial budaya,
misalnya seorang ayah makan lebih dahulu dan menerima makanan yang lebih kaya
protein, sedangkan ibu dan anaknya memperoleh sisa, sehingga sering kali
mengakibatkan mereka kekurangan nutrisi. Cara bayi diberi makan juga dapat
dipandang sebagai pengaruh lingkungan. Air susu ibu oleh para dokter telah
disepakati sebagai makanan yang ideal bagi bayi, karena selalu segar,
campurannya tepat, dan mudah dijaga kebersihannya.
PALEOPATOLOGI
Paleopatologi
adalah studi mengenai penyakit manusia purba, yang didalamnya mengenai
bagaimana nenek moyang kita dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka hidup dan
cara hidup mereka.
Contoh- contoh penyakit pada masa pada manusia purba, yaitu:
1. Penyakit
reumatik, caries gigi, ricketsia dan lainnya diketahui berdasarkan peninggala tulang – tulang.
2. Penyakit-penyakit
infeksi berdasarkan pengawetan mummi secara alamiah dan buatan pada jaringan lunaknya dan juga
akibat lingkungan yang buruk.
3. Penyakit fraktur
yang terjadi akibat adanya kanibalisme, peperangan dan aspek lainnya dari kehidupan sehari-hari, seperti
fraktur pada tengkorak kepala akibat dua atau tiga penekanan yang berasal dari senjata maces, yaitu sejenis
tombak yang bermata enam.
4. Luka- luka akibat senjata contohnya pada
orang Anglo-Saxon menunjukkan banyaknya fraktur
kaki pada tulang betis.
Hal – hal
tentang penyakit manusia purba dan adaptasinya terhadap lingkungan dapat
disimpulkan dari studi mengenai sisa – sisa masyarakat berburu dan meramu,
seperti orang Bushmen si Afrika Selatan dan penduduk asli Australia. Mungkin
kesimpulan yang paling penting dari studi itu jika dihubungkan dengan bukti
lain seperti tingkahlaku gen dan virus, adalah bahwa banyak penyakit modern
tidak terdapat pada penduduk purba dan “ spectrum dari penyakit – penyakit yang
menyerang manusia sepanjang perkembangannya mungkin lebih kecil daripada yang
kita alami pada masa sejarah” (Black 1975 : 515).
Dalam masa
prehistori, populasi masyarakat berburu meramu jumlahnya sedikit, terdiri dari
kelompok yang paling banyak berjumlah 200 – 300 orang. Dimana mereka terlalu
kecil jumlahnya untuk memebentuk suatu reservoir bagi kalangan eksistensi
penyakit-penyakit infeksi. Dari segi eksistensi dan daya tahan hidup dari
pathogen, suatu jenis pathogen lain dibutuhkan, yang dapat bertahan untuk waktu
yang lama sampai muncul perantara baru. “ karenanya seleksi alamiah lebih
terbuka bagi pathogen yang dapat hidup dalam hubungan bersama dengan perantara
mereka dan pathogen yang terus hidup tanpa perantaranya.
Kesehatan dari
masyarakat berburu dan meramu secara positif juga dipengaruhi oleh kebiasaan
nomadi mereka sehingga kecil kemungkinannya untuk menginfeksi dirinya sendiri
akibat kotoran mereka sendiri atau hal-hal lain, dibandingkan dengan populasi
besar yang menetap.
Anehnya,
penemuan pertanianlah yang telah menambah jenis dan frekuensi penyakit yang
diderita manusia, “… munculnya peradaban menjatuhkan pukulan terhadap kesehatan
manusia, sehingga baru sekarang saja manusia sembuh” (Neel 1970 : 818).
Walaupun menghasilkan bahan pangan yang kontiniu dan pertambahan penduduk,
tetapi meningkatkan penyakit-penyakit infeksi juga. Ini terjadi karena populasi
yang besar merupakan reservoir infeksi, hubungan manusia yang akrab dengan
ternaknya, yang dapat menularkan pathogen baru.
Kontras antara
potensi penyakit infeksi pada masyarakat berburu dan meramu dengan masyarakat
petani telah mencetuskan spekulasisehubungan dengan pengendalian penduduk.
Sepanjang sejarah, kematian bayi yang tinggi merupakan penjelasan dari
lambatnya perkembangan penduduk dunia. Namun penelitian di kalangan penduduk
berburu dan meramu menunjukkan bahwa angka kematian bayi yang tinggi di
kalangan penduduk primitif bukan hal yang umum. Keseimbangan manusia dengan
sumber – sumber lingkungannya dipertahankan oleh bentuk budaya, terutama oleh
tabu yang berkenaan dengan hubungan seks, masa menyusui yang diperpanjang,
aborsi, pembunuhan bayi dan sejenisnya, bila digabungkan mengurangi rata-rata
angka kelahiran secara efektif menjadi satu anak dalam jangka waktu 4 atau 5
tshun.
Namun, dengan
munculnya ekonomi agrikultural, “populasi komuniti menetap yang semakin padat
menjadi semakin peka terhadap penyakit infeksi, suatu cara dalam hal pengawasan
penduduk” (Underwood 1975 : 61). Barulah pada tahun 1940 ada pertambahan
penduduk yang berarti seperti di Tzintzuntzan, yang diakibatkan oleh adanya vaksinasi
terhadap cacar air dan imunisasi lainnya, pengadaan air bersih, obat – obat
antibiotika serta tindakan preventif dan kuratif lainnya.
PENYAKIT
DAN EVOLUSI
Penyakit –
penyakit infeksi merupakan factor penting dalam evolusi manusia selama 2 juta
tahun atau lebih, melalui mekanisme evolusi dari “proteksi generatik” maka
nenek moyang kita dapat mengatasi ancaman – ancaman penyakit dalam kehidupan
individu dan kelompok (Armelagos dan Dewey 1970). Contohnya penyakit anemia sel
sabit (sickle cell anemia), di Afrika Barat. Penyakit ini ditandai oleh sel
darah merah yang bentuk sabit, tidak bulat dan bersifat genetik. Sebagian
individu yang terkena akan mati muda dan diwariskan dan penyembuhannya belum
diketahui. Sehingga merupakan ancaman bagi penduduk kulit hitam. Di lingkungan
lain, sel sabit sama sekali bukan ancaman, malahan menjadi karakteristik yang
diinginkan, karena di daerah malaria ciri ini memberikan priteksi yang tinggi
bagi individu yang terkena gigitan nyamuk Anopheles. Wiesenfeld
mendeskripsikan ciri sel itu sebagai “suatu pemecahan biologis terhadap masalah
kebudayaan.” Lalu menganbil proposisi umum,” Dimana ada adaptasi sosial ekonomi
menyebabkan perubahan pada lingkungan, frekuensi dari suatu gen akan berubah
dalam proporsi terhadap nilai kelangsungan hidup (survival) yang diberikan gen
itu kepada pembawa penyakit (carriers), dala ekosistem yang baru. Peningkatan
frekuensi dari suatu gen yang adaptif menghilangkan pembatas lingkungan dan
memberi kemungkinan perkembangan lebih lanjut bagi adaptasi sosial ekonomi”.