Ilmu Alamiah Dasar
Nama : Derson Henriko H. Sianturi
NPM :
11512876
Kelas : 1PA02
Jurusan : Psikologi
Fakultas : Psikologi
Universitas Gunadarma 2012/2013
MEGALITIKUM
1.
PENGERTIAN MEGALITIKUM
Megalitikum berasal dari kata mega
yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Zaman Megalitikum biasa
disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat
membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dan batu-batu besar.
kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu. Pada
zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan. Walaupun kepercayaan mereka masih
dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang, Kepercayaan
ini muncul karena pengetahuan manusia sudah mulai meningkat.
2. PERIODISASI ZAMAN MEGALITIKUM
Menurut Von Heine Geldern,
kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1.
Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa
oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan
Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia
pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson
(Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen,
waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis. Apa yang dinyatakan dalam uraian di
atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan
batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu
dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus,
tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk
yang diperlukan.
3.
KEBUDAYAAN MEGALITIKUM
Peninggalan kebudayaan megalithikum
ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku
bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut.
Contohnya seperti suku Nias.
Adapun beberapa hasil-hasil
kebudayaan pada zaman megalitikum adalah sebagai berikut:
1. Menhir
Bangunan
menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu
bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh
nenek moyang. Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah
(Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Untuk mengetahui
bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar berikut ini.
Bangunan
menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu
bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh
nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya
sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak
adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat
pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal. Bangunan tersebut dianggap
sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak
Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur, sedangkan mengenai
bentuk dari punden berundak dapat Anda amati gambar-gambar berikut ini.
3. Dolmen
Dolmen merupakan meja
dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan.
Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut
tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai
mayat tertutup rapat oleh batu. Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai
tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen
antara lain Cupari Kuningan / Jawa Barat, Bondowoso / Jawa Timur, Merawan,
Jember / Jatim, Pasemah / Sumatera, dan NTT. Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen
yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat menyimpan mayat lebih dikenal
dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4. Sarkofagus
Sarkofagus adalah
keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai
lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya
di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi,
perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi. Daerah tempat ditemukannya
sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan
magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat
Bali sejak zaman logam.
5. Peti kubur
Peti kubur adalah
peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari
lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang
dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu. Daerah
penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari
(Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan
rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik.
Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan
antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya merupakan tempat menyimpan
mayat yang disertai bekal kuburnya.
6. Arca batu
Arca/patung-patung
dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang
digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca
manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan
penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
Arca
batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang
binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera
Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain
Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
7. Waruga
Waruga adalah peti
kubur peninggalan budaya Minahasa pada zaman megalitikum. Didalam peti pubur
batu ini akan ditemukan berbagai macam jenis benda antara lain berupa tulang-
tulang manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat, benda- benda logam, pedang,
tombak, manik- manik, gelang perunggu, piring dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang
pernah ditemukan didalam waruga, diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah
kubur untuk beberapa individu juga atau waruga bisa juga dijadikan kubur
keluarga (common tombs) atau kubur komunal. Benda- benda periuk, perunggu,
piring, manik- manik serta benda lain sengaja disertakan sebagai bekal kubur
bagi orang yang akan meninggal.
4. BUDAYA MEGALITIKUM DI INDONESIA
Di Indonesia, beberapa etnik masih
memiliki unsur-unsur megalitik yang dipertahankan hingga sekarang.
1. Pasemah
1. Pasemah
Pasemah merupakan wilayah dari
Propinsi Sumatera Selatan, berada di kaki Gunung Dempo. Tinggalan-tinggalan
megalitik di wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian
yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi Palembang.
Tinggalan megalitik Pasemah muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung
dipahat dengan begitu dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang
seniman dalam memahat sehingga tinggalan [megalitik pasemah], disebut oleh ahli
arkeologi sebagai Budaya Megalitik Pasemah.
2. Nias
Rangkaian kegiatan mendirikan batu
besar (dolmen) untuk memperingati kematian seorang penting di Nias (awal abad
ke-20). Etnik Nias masih menerapkan beberapa elemen megalitik dalam
kehidupannya. Lompat batu dan kubur batu masih memperlihatkan elemen-elemen
megalitik. Demikian pula ditemukan batu besar sebagai tempat untuk memecahkan
perselisihan.
3. Sumba
3. Sumba
Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur
juga masih kental menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kegiatan
sehari-hari. Kubur batu masih ditemukan di sejumlah perkampungan. Meja batu
juga dipakai sebagai tempat pertemuan adat.
5. KEPERCAYAAN
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda
Kuno
Penemuan-penemuan sejumlah bangunan
era Megalitikum mengindikasikan bahwa rakyat Sunda kuno cukup religius. Sebelum
pengaruh Hindu dan Buddha tiba di Pulau Jawa, masyarakat Sunda telah mengenal
sejumlah kepercayaan, seperti terhadap leluhur, benda-benda angkasa dan alam
seperti matahari, bulan, pepohonan, sungai, dan lain-lain. Pengenalan terhadap
teknik bercocok tanam (ladang) dan beternak, membuat masyarakat percaya
terhadap kekuatan alam. Untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas karunia yang
diberikan oleh alam, mereka lalu melakukan upacara ritual yang dipersembahkan
bagi alam. Karena itu, mereka percaya bahwa alam beserta isinya memiliki
kekuatan yang tak bisa dijangkau oleh akal dan pikiran mereka.
Dalam melaksanakan ritual atau upacara keagamaan, masyarakat prasejarah itu berkumpul di komplek batu-batu besar (megalit) seperti punden-berundak (bangunan bertingkat-tingkat untuk pemujaan), menhir (tugu batu sebagai tempat pemujaan), sarkofagus (bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati), dolmen (meja batu untuk menaruh sesaji), atau kuburan batu (lempeng batu yang disusun untuk mengubur mayat). Bangunan-bangunan dari batu ini banyak ditemukan di sepanjang wilayah Jawa bagian barat. Dibandingkan dengan wilayah Jawa Tengah dan Timur, Jawa Barat paling banyak meninggalkan bangunan-bangunan megalitik tersebut.
Kehidupan yang serba tergantung kepada alam membuat pola hidup yang bergotong-royong. Dalam melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat prasejarah ini melakukannya secara bersama-sama. Yang memimpin upacara itu adalah mereka yang berusia paling tua atau dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang berhak menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius lainnya dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal mengusir roh jahat, mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang melanggar nilai atau hukum yang diberlakukan.
Dalam melaksanakan ritual atau upacara keagamaan, masyarakat prasejarah itu berkumpul di komplek batu-batu besar (megalit) seperti punden-berundak (bangunan bertingkat-tingkat untuk pemujaan), menhir (tugu batu sebagai tempat pemujaan), sarkofagus (bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati), dolmen (meja batu untuk menaruh sesaji), atau kuburan batu (lempeng batu yang disusun untuk mengubur mayat). Bangunan-bangunan dari batu ini banyak ditemukan di sepanjang wilayah Jawa bagian barat. Dibandingkan dengan wilayah Jawa Tengah dan Timur, Jawa Barat paling banyak meninggalkan bangunan-bangunan megalitik tersebut.
Kehidupan yang serba tergantung kepada alam membuat pola hidup yang bergotong-royong. Dalam melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat prasejarah ini melakukannya secara bersama-sama. Yang memimpin upacara itu adalah mereka yang berusia paling tua atau dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang berhak menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius lainnya dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal mengusir roh jahat, mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang melanggar nilai atau hukum yang diberlakukan.
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda
Masa Hindu-Buddha
Setelah kedatangan orang-orang
India, masyarakat Sunda kuno mulai terpengaruh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha.
Penemuan sejumlah arca-batu bercorak Hindu dan Buddha (meski dibuat sangat
sederhana) menandakan bahwa mereka—terutama kaum bangsawan—memercayai dan
mempraktikkan ajaran-ajaran Hindu-Buddha. Meski jarang sekali ditemukan candi
yang bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri bahwa masyarakat Sunda Kuno—terutama
keluarga raja—menganut agama-agama dari India itu, yang kemudian dipadukan
dengan kepercayaan nenek-moyang mereka, yaitu Sunda Wiwitan.
Sejak masa Salakanagara dan
Tarumanagara, raja-raja di Sunda memiliki gelar yang sangat kental warna Hindu
maupun Buddha. Gelar “dewawarman” yang berarti “baju perisai dewa”, tentu
mengacu kepada kepercayaan Hindu, selain karena pendiri Salakanagara berasal
dari negeri India. Mereka begitu memuja dewa-dewa Hindu seperti Surya, Wisnu,
dan Siwa.
Kehidupan agama masyarakat Sunda
kuno dapat dilihat dari, misalnya, naskah Sanghyang Sisksakandang Karesian
(disebut pula Kropak 603) yang ditulis pada 1518 atau Carita Parahyangan yang
ditulis pada 1580 M. Berdasarkan naskah tersebut, terang sekali bahwa agama
orang Sunda terdiri atas tiga kepercayaan utama, yaitu tradisi Sunda Wiwitan
(Sunda asli) yang begitu memuja leluhur (hyang), Buddhisme, dan Hindu. Oleh
masyarakat Sunda, kepercayaan Buddha dan Hindu tersebut dipadukan yang
cenderung lebih mengarah kepada Buddhaisme. Perpaduan kedua agama ini dapat
dilihat dari doa (semacam “syahadat”) mereka yang diucapkan ketika upacara
keagamaan berlangsung. Doa tersebut berbunyi: “Hong kara nomo Sewaya, sembah
ing hulun di Sanghyang Panca Tatagata”, yang artinya: “Ya Tuhan, segala
perbuatan demi nama Siwa, sembahku kepada Sanghyang Buddha yang lima.”
Jelas sekali corak sikretisme dalam
doa tersebut. Sanghyang Buddha yang 5 atau Dyani Buddha adalah posisi Buddha
dalam bersemadi yang mengacu kepada arah mata angin, yakni :
1. Amogasiddha (utara);
1. Amogasiddha (utara);
2. Akshobya (timur);
3. Ratnasambhawa (selatan);
4. Amithabba (barat);
5. Wairocana (pusat/zenit).
Sementara itu, dalam Hindu pun
terdapat lima dewa, disebut Batara Jagat atau Lokapala. Akan tetapi, para dewa
tersebut tidak dianggap tuhan melainkan tunduk kepada Hyang (dewata bakti di
Hyang). Maka dari itu dikatakan, “Sing para dewata kabeh pada bakti ke Batara
Seda Niskala” (Semua dewa tunduk kepada Batara Seda Niskala). Adapun kelima
dewa tersebut adalah :
1. Wisnu (utara);
1. Wisnu (utara);
2. Isora/Iswara (timur);
3. Mahadewa (selatan);
4. Bratha (barat);
5. Siwa (tengah).
Agama Buddha yang berkembang di Jawa
Barat (dan juga di kerajaan-kerajaan kuno lainnya di Nusantara) adalah Buddha
Mahayana. Pada abad ke-7, Sriwijaya bahkan merupakan pusat studi Buddha
Mahayana di sekitar Asia Timur-Tenggara. Mahzab Mahayana ini menitikberatkan
kepada usaha saling membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa
(nirvana), berbeda dengan Buddha Hinayana yang lebih bersifat individualistis
dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan
Thailand; namun kemudian tak berkembang dan lebih dulu menghilang. Sebaliknya,
aliran Mahayana ini kemudian terpengaruh oleh Hinduisme, yang mengakibatkan
makin menjauhnya ajarannya dari ajaran Siddharta Gautama sendiri. Dalam Buddha
Mahayana akhirnya mengenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa, surga
dalam artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang
patut disembah. Penyelewangan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme
dari semangat Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha aslinya tak mengenal
adanya tuhan, tak mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa layaknya dalam Hindu.
Maka dari itu, di India sendiri ajaran Buddha menghilang dan kemudian lebih
banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara.
Ada pun, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat, atau lebih tepatnya para raja-raja, Pasundan adalah aliran Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa (Siwa). Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa di beberapa tempat di Jawa Barat membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat gelar raja-raja Sunda, Galuh, atau Pajajaran yang berbau Wisnu. Sanjaya Sang Harisdarma, Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti, Guru Dharmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, merupakan raja-raja yang memakai gelar kewisnuan (Harisdarma, Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara Wisnu sendiri adalah dewa yang memelihara perdamaian di bumi dari kehancuran yang disebabkan oleh Dewa Siwa.
Ada pun, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat, atau lebih tepatnya para raja-raja, Pasundan adalah aliran Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa (Siwa). Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa di beberapa tempat di Jawa Barat membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat gelar raja-raja Sunda, Galuh, atau Pajajaran yang berbau Wisnu. Sanjaya Sang Harisdarma, Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti, Guru Dharmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, merupakan raja-raja yang memakai gelar kewisnuan (Harisdarma, Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara Wisnu sendiri adalah dewa yang memelihara perdamaian di bumi dari kehancuran yang disebabkan oleh Dewa Siwa.
Dalam melaksanakan upacara/ritual
keagamaan, masyarakat Sunda mempergunakan bangunan atau tempat yang telah ada,
seperti punden berundak-undak atau babalayan, menhir, atau bangunan peninggalan
budaya prasejarah Megalitikum yang memang banyak tersebar di Tatar Sunda. Maka
dari itu, di Jawa Barat jarang sekali ditemukan bangunan tempat ibadah atau pun
tempat penyimpanan abu raja seperti candi yang banyak ditemukan di Jawa Tengah
dan Timur. Hal ini terjadi karena masyarakat Sunda adalah masyarakat peladang
yang hidupnya cenderung nomaden, berpindah-pindah tempat. Sebagai komunitas
nomaden, mereka merasa tak perlu membangun tempat-tempat suci (candi atau
wihara) karena akan memakan waktu yang lama. Lagi pula, mereka akan selalu
berpindah tempat lagi untuk menemukan lahan baru guna dijadikan tempat
berladang mereka yang baru. Bagi masyarakat Sunda kuno, bangunan megalitik
itulah “candi” mereka. Maka dari itu, gaya hidup orang Sunda yang hidup di
dataran tinggi dan bertradisi ladang, berbeda dengan orang Jawa yang memiliki
tradisi sawah yang gaya hidupnya cenderung menetap.
Perpaduan unsur Buddha dengan Hindu
rupanya menghasilkan “agama” baru, yakni Tantrayana, yang juga dianut oleh
sebagian masyarakat Sunda, terutama kalangan atas yang status sosialnya tinggi.
Mahzab Tantrayana (pengikutnya disebut Tantris) terdapat dalam Buddhisme maupun
Hinduisme. Sekte ini lahir di India pada tahun 600 Saka, dan lima puluh tahun
kemudian menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan
Sumatera). Tantra sendiri artinya adalah intisari, esensi, atau asal.
Dalam kepercayaan Tantrayana ini
mengenal adanya laku meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi
penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah variasi lain
yang bercorak Buddha dari apa yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni
berupa lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari.
Alat tersebut—bisa dibuat dari tanah, kain, pada dinding, logam, atau
batu—harus digunakan oleh mereka yang mencari pelepasan dari rangkaian siklus
(lingkaran) kelahiran kembali.
Penggunaan mandala/yantra ini
biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (seperti tasbih atau rosario) oleh
tangan kanan untuk menghitung mantra yang diucapkan. Di Jawa Barat, para
penganut Tantra ini menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.
Di Sriwijaya, aliran ini lebih dulu
berkembang pada abad ke-7, ditandai adanya Prasasti Talang Tuo dan Kota Kapur
yang berisi kutukan dan sumpah. Di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti
Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci,
Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara ini merupakan salah satu
bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri
(syakti) pada Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai syahwat merupakan
musuh terbesar manusia. Sementara itu, pada masa Raja Sindhok di Jawa Timur
abad ke-10 telah disusun sebuah kitab yang menguraikan paham Tantra, yakni
Sanghyang Kamahayanikan.
Di Sunda sendiri, diketahui sejumlah
raja penganut Tantra di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah
Prabu Suryakancana, raja terakhir Pajajaran). Prasasti Sanghyang Tapak
(Cibadak) menyebutkan sejumlah sumpah dan kutukan “mengerikan” yang menyerukan
supaya orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada
kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya.
Selain kutukan-sumpah, Tantrayana
mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra,
dan samadi. Dalam Tantrayana Hindu, kesaktian Siwa dinilai bersifat wanita dan
akhirnya dianggap sebagai istri Siwa sendiri. Munculnya unsur wanita ini
mengakibatkan lahirnya kegiatan “hubungan intim” yang dianggap “suci” dan
membawa manusia kepada “kebebasan jiwa” dalam upacara Tantrayana. Begitu pula
dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana), yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi
Tara dengan Dyani Buddha. Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta
beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam
Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya.
Upacara Tantrayana ini semakin menyimpang dengan adanya penggunaan minuman
keras oleh para pengikutnya. Minuman keras ini dimaksudkan untuk mempercepat
“peleburan” diri kepada Unsur Asal. Mereka pun selalu mengutamakan
makanan-makanan lezat dan mewah, yang jelas bertentangan dengan ajaran Buddha
murni yang mengharamkan minuman keras dan hidup berfoya-foya.
Kemerosotan akhlak dan moral di
kalangan istana dengan adanya praktik Tantrayana ini kelak mempercepat
penyebaran Islam di dalam masyarakat Sunda. Belum lagi faktor bahwa dalam
Buddha sendiri tak dikenal pengkastaan.
Kepercayaan terhadap (Ajaran)
Leluhur
Seperti telah dikupas sedikit, bahwa
pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi (roh)
para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini
senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama
Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama
lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh
kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering
menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi kaum
brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama dan
tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para pujangga
(kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang
(1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan
atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di
tempat bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam membuat
kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat
Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di dalamnya
diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar
memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung. Diperingatkannya
bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang
memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang,
hidup akan lama, keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda,
fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting
dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno,
kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan dalam perang. Pada masa Sri
Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap dilaksanakan. Ia menyatakan,
kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”,
yaitu desa yang dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena
jasa-jasanya terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah
raja.
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).
“Tetaplah mengikuti orangtua,
melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar unggul perang, serba
tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama
warisan dari para almarhum.”
Carita Parahyangan pun membeberkan,
bahwa bila seseorang meninggalkan ajaran leluhur niscaya akan dihinggapi
kesusahan dan penyakit batin. Sebaliknya, orang yang memelihara ajaran nenek
moyang pasti akan senang lahir-batin. Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi
sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin.
Senang-sejahtera di utara, barat, dan timur. Mungkin, faktor “menghormati
leluhur” inilah yang menyebabkan ajaran Islam dapat diserap oleh mayoritas
masyarakat Sunda. Islam pun mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan
salah satu unsur terpenting dalam kehidupan; dan barang siapa yang selalu
mendoakan arwah orangtua akan diberi pahala melimpah.
6. KEHIDUPAN SOSIAL
Pada zaman ini manusia melakukan
banyak kegiatan yang menyangkut kehidupannya. Mereka sudah mepunyai aktifitas
seperti berbueu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam.
Ciri-cirinya adalah:
Ciri-cirinya adalah:
- Manusia sudah dapat membuat dan
meninggalkan kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar
- Berkembang dari zaman neolitikum sampai zaman perunggu
- Berkembang dari zaman neolitikum sampai zaman perunggu
- Manusia sudah mengenal kepercayaan
utamnya animism
7. MANUSIA PENDUKUNG
Di sebut kebudayaan batu besar
karena pada umumnya menghasilkankebudayaan dalam bentuk monument yang terbuat
dari batu berukuranbesar. Kebudayaan ini muncul pada akhir jaman neolhitikum ,
tetapiperkembangannya justru terjadi pada jaman perunggu. Jadi, mungkin saja :
1. Suku dayak golongan ras proto
melayu
2.
Bangsadeuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia sambilmembawa
kebudayaan dongson. Keturunannya adalah jawa, bali, bugis,madur, dll. Bahkan
ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadipembaruan antara melayu monggoloide
(proto melayu dengan deuteuromelayu) dan papua melaneside.